Hak Merek
Pengertian merek dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf- huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.
Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa merek:
a. Tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna tersebut;
b. Memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain
yang sejenis;
c. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa
yang sejenis.
2. Pengertian Hak Atas Merek Dan Pemilik Merek
Hak cipta harus dapat melindungi ekspresi dari suatu ide
gagasan konsep, salah satu cara untuk melindungi suatu hak cipta tercantum pada
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu dengan melakukan
pendaftaran hak atas merek.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain untuk
menggunakannya. Dalam pendaftaran merek, pemiliknya mendapat
hak atas merek yang dilindungi oleh hukum.
Pemilik Merek merupakan pemohon yang telah disetujui
permohonannya dalam melakukan pendaftaran merek secara tertulis kepada
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, sebagaimana yang temuat dalam
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
B. Fungsi Dan Manfaat Merek
Kebutuhan untuk melindungi produk yang dipasarkan dari
berbagai tindakan melawan hukum pada akhirnya merupakan kebutuhan untuk
melindungi merek tersebut. Merek merupakan suatu tanda yang dapat dicantumkan
pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang tersebut, jika suatu barang
hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap
sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan
merek.22
Fungsi utama merek (terjemahan umum dalam bahasa Inggrisnya
adalah trademark, brand, atau logo) adalah untuk membedakan suatu produk barang
atau jasa, atau pihak pembuat/penyedianya. Merek mengisyaratkan asal-usul suatu
produk (barang/jasa) sekaligus pemiliknya. Hukum menyatakan merek sebagai
property atau sesuatu yang menjadi milik eksklusif pihak tertentu, dan melarang
semua orang lain untuk memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik.23 Dengan
demikian, merek
22 Gautama, Sudargo, Hukum Merek Indonesia, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 34.
23 Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI, Hak
Kekayaan Intelektual Hak Cipta,Paten, Merek, dan seluk-beluknya, Jakarta,
Erlangga,esensi , 2009, hal.50
berfungsi juga sebagai suatu tanda pengenal dalam kegiatan
perdagangan barang dan jasa yang sejenis. Pada umumnya, suatu produk barang dan
jasa tersebut dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan diberi suatu tanda
tertentu, yang berfungsi sebagai pembeda dengan produk barang dan jasa lainnya
yang sejenis. Tanda tertentu di sini merupakan tanda pengenal bagi produk
barang dan jasa yang bersangkutan, yang lazimnya disebut dengan merek. Wujudnya
dapat berupa suatu gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna
atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut.24
Merek juga dapat berfungsi merangsang pertumbuhan industri
dan perdagangan yang sehat dan menguntungkan semua pihak. Diakui oleh
Commercial Advisory Foundation in Indonesia (CAFI) bahwa masalah paten dan
trademark di Indonesia memegang peranan yang penting di dalam ekonomi
Indonesia, terutama berkenaan dengan berkembangnya
usaha-usaha industri dalam rangka penanaman modal.25 Oleh
karena itu,
merek bermanfaat dalam memberikan jaminan nilai atau
kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal itu tersebut tidak hanya
berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan
perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen. Selanjutnya, merek juga
bermanfaat sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi
produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang
bersangkutan. Di pasaran luar
24 Usman, Rachmadi, op.cit, hal 320.
25 Putra, Ida Bagus Wyasa, Aspek-aspek Hukum Perdata
Internasionaldalam Transaksi Bisnis
Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2000, hal 23.
negeri, merek-merek sering kali adalah satu-satunya cara
untuk menciptakan dan mempertahankan “goodwill” di mata konsumen. Merek
tersebut adalah simbol dengan mana pihak pedagang memperluas pasarannya di luar
negeri dan juga mempertahankan pasaran tersebut. Goodwill atas merek adalah
sesuatu yang tidak ternilai dalam
memperluas pasaran.26
Berdasarkan fungsi dan manfaat inilah maka diperlukan
perlindungan hukum terhadap produk Hak Merek, ada 3 (tiga) hal yaitu:27
1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu
merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek;
2. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas
Hak atas Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang
berhak;
3. Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat
lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.
Undang – Undang Hak Merek
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
: Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-
angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.(Pasal 1
Ayat 1)
Latar Belakang Undang-Undang Perindustrian.
Sasaran pokok yang hendak dicapai dalam pembangunan jangka
panjang adalah tercapainya keseimbangan antara pertanian dan industri serta
perubahan-perubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia sehingga
produksi nasional yang berasal dari luar pertanian akan merupakan bagian yang
semakin besar dan industri menjadi tulang punggung ekonomi. Disamping itu
pelaksanaan pembangunan sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang
merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial sehingga di satu pihak pembangunan itu tidak hanya ditujukan
untuk meningkatkan produksi, melainkan sekaligus mencegah melebarnya jurang
pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Dengan memperhatikan sasaran pembangunan jangka panjang di
bidang ekonomi tersebut, maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat
penting. Dengan arah dan sasaran tersebut, pembangunan industri bukan saja
berarti harus semakin ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu
mempercepat terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang, tetapi
pelaksanaannya harus pula makin mampu memperluas kesempatan kerja, meningkatkan
rangkaian proses produksi industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
sehingga mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan ekspor
hasil-hasil industri itu sendiri. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, diperlukan
perangkat hukum yang secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan,
dan pengembangan dalam arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri.
Dalam rangka kebutuhan inilah Undang-Undang tentang Perindustrian ini
disusun.Pemerintah diarahkan untuk menciptakan iklim usaha industri secara
sehat dan mantap. Dalam hubungan ini, bidang usaha industri yang besar dan kuat
membina serta membimbing yang kecil dan lemah agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi kuat. Dengan iklim usaha industri yang sehat seperti itu, diharapkan
industri akan dapat memberikan rangsangan yang besar dalam menciptakan lapangan
kerja yang luas.
UU No.5/1984
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27
ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2832);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2918);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234).
BAB I
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang
bertalian dengan kegiatan industri.
2. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan
mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang
dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunannya, termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan industri.
3. Kelompok industri adalah bagian-bagian utama kegiatan
industri, yakni kelompok industri hulu atau juga disebut kelompok industri
dasar, kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil.
4. Cabang industri adalah bagian suatu kelompok industri
yang mempunyai ciri umum yang sama dalam proses produksi.
5. Jenis industri adalah bagian suatu cabang industri yang
mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses
produksi.
6. Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang
bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.
7. Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan di bidang usaha industri.
8. Bahan mentah adalah semua bahan yang didapat dari sumber
daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih
lanjut.
9. Bahan baku industri adalah bahan mentah yang diolah atau
tidak diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam industri.
10. Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku
yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang dapat
diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
11. Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap
pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
12. Teknologi industri adalah cara proses pengolahan yang
diterapkan dalam industri.
13. Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat
dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah.
14. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang
berhubungan dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseturuhan
atau bagian-bagiannya.
15. Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang
berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan
peralatan industri lainnya.
16. Standar industri adalah ketentuan-ketentuan terhadap
hasil produksi industri yang di satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi,
mutu, dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara mengolah, cara
menggambar, cara menguji dan lain-lain.
17. Standarisasi industri adalah penyeragaman dan penerapan
dari standar industri.
18. Tatanan industri adalah tertib susunan dan pengaturan
dalam arti seluas-luasnya bagi industri.
BAB II
LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI.
Pasal 2
Pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi,
kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan kelestarian
hngkungan hidup.
Pasal 3
Pembangunan industri bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kemakmuran dan keseiahteraan rakyat secara
adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil
budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan
hidup;
2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap,
mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih
seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih luas
bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, serta memberikan nitai tambah bagi
pertumbuhan industri pada khususnya;
3. Meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong
terciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap
kemampuan dunia usaha nasional;
4. Meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan
golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam
pembangunan industri;
5. Memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, serta meningkatkan peranan koperasi industri;
6. Meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor
hasil produksi nasional yang bermutu, disamping penghematan devisa melalui
pengutamaan pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengurangi
ketergantungan kepada luar negeri;
7. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan industri yang
menunjang pembangunan daerah dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara;
8. Menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang dinamis
dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.
BAB III
PEMBANGUNAN INDUSTRI.
Pasal 4
(1) Cabang industri yang penting dan strategis bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 5.
(1) Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk
dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan ketrampilan
tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh
Warga Negara Republik Indonesia.
(2) Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus
dicadangkan bagi kegiatan industii kecil yang dilakukan oleh masyarakat
pengusaha dari golongan ekonomi lemah.
(3) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6.
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri untuk penanaman
modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
BAB IV
PENGATURAN, PEMBINAAN, DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI.
Pasal 7.
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
terhadap industri, untuk:
1. mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara
sehat dan berhasil guna;
2. mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah persaingan yang tidak jujur;
3. mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu
kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Pasal 8.
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk memperkokoh
struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan industri.
Pasal 9.
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan
dengan memperhatikan:
1. Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan
memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri
dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan
dan kekuatan sendiri;
2. Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan
pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang
melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan
industri oleh satu kelompok atau perorangan.dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat;
3. Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri
terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang
bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan
perkembangan industii dalam negeri pada khususnya;
4. Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap
lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber
daya alam.
Pasal 10.
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi:
1. keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk
meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan
produksi nasional:
2. keterkaitan antara bidang usaha industri dengan
sektor-sektor bidang ekonomi lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah serta
sumbangan yang lebib besar bagi pertumbuhan produksi nasional;
3. pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta, dan
swadaya masyarakat.
Pasal 11
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja sama yang saling
menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan kerja sama
tersebut.
Pasal 12.
Untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan
jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan
kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan.
BAB V
IZIN USAHA INDUSTRI.
Pasal 13.
(1) Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap
perluasannya wajib memperoleh Izin Usaha Industri.
(2) Pemberian Izin Usaha Industri terkait dengan pengaturan,
pembinaan dan pengembangan industri.
(3) Kewajiban memperoleh Izin Usaha Industri dapat
dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(4) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14.
(1) Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya
berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan infonnasi
industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada
Pemerintah.
(2) Kewajiban untuk menyampaikan informasi industri dapat
dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(3) Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian
informasi industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15.
(1) Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya
berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib melaksanakan upaya
yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksinya
termasuk pengangkutannya.
(2) Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan
penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan
alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian yang
menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri
termasuk pengangkutannya.
(4) Tata cara penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
TEKNOLOGI INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANCANG BANGUN
DAN PEREKAYASAAN INDUSTRI, DAN STANDARDISASI.
Pasal 16.
(1) Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha
industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri
yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah
dikembangkan di dalam negeri.
(2) Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan
tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu
pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan
mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
(3) Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar
negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di
dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,
Pasal 17.
Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang
ketentuanketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18.
Pemerintah mendorong pengembangan kemampuan rancang bangun
dan perekayasaan industri.
Pasal 19.
Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang
hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk
mencapai daya guna produksi.
BAB VII
WILAYAH INDUSTRI.
Pasal 20.
(1) Pemerintah dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan
tujuannya dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
INDUSTRI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 21.
(1) Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan
dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan
pencemaran terhadap lingkungan Hidup akibat kegiatan industri yang
dilakukannya.
(2) Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa
bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan
penanggulangan pencemaran terhadap Ungkungan hidup akibat kegiatan industri.
(3) Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri
kecil.
BAB IX
PENYERAHAN KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI.
Pasal 22.
Penyerahan kewenangan tentang pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan terhadap industri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 23
Penyerahan urusan dan penarikannya kembali mengenai bidang
usaha industri tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam
rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung
jawab, ditakukan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 24
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan
Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh limajuta rupiah) dengan hukuman
tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal
14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satujuta rupiah) dengan hukuman tambahan
pencabutan Izin Usaha Industrinya.
Pasal 25.
Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan peniruan
desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000.000,(sepuluh juta rupiah).
Pasal 26.
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut izin
Usaha Industrinya.
Pasal 27.
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbutan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 28.
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ayat (1) adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2), dan Pasal 27 ayat (2) adalah pelanggaran.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 29
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak
hertentangan dengan Undang-Undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan
penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII.
KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini,
Bedrijfsreglementeeringsordonnantie 1934 (Staatsbiad 1934 Nomor 595) dinyatakan
tidak berlaku lagi bagi industri.
Pasal 31.
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Konvensi Internasional tentang Hak Cipta.
Pengertian Konvensi
Konvensi adalah
suatu perjanjian yang bersifat multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku
bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Misalnya, Konvensi Hukum Laut
Internasional tahun 1982 di Montego-Jamaika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konvensi diartikan sebagai :
1. Permufakatan
atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi)
2. Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan.
Konvensi bisa
merupakan kumpulan norma yang diterima secara umum. Konvensi juga adalah
pertemuan sekelompok orang yang secara bersama-sama bertukar pikiran,
pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk
mendengar dan didengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan
topik-topik yang dibahas dalam pertemuan dimaksud. Konvensi merupakan suatu
kegiatan berupa pertemuan sekelompok orang (negarawan,usahawan, cendekiawan,
dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
kepentingan bersama. Secara umum konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan
terpelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam konteks hukum internasional sebuah konvensi dapat berupa
perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan
internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi
internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui
proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Konvensi Hak Cipta Universal 1955
KONVENSI HAK CIPTA
UNIVERSAL 1955
Merupakan suatu hasil kerja PBB melalui
sponsor UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan dengan hak
cipta yang berlaku di kalangan masyarakat inrernasional. Di satu pihak ada
sebagian angota masyarakat internasional yang menganut civil law system,
berkelompok keanggotaannya pada Konvensi Bern, dan di pihak lain ada sebagian
anggota masyarakat internasional yang menganut common law system berkelompok
pada Konvensi-Konvebsi Hak Cipta Regional yang terutama berlaku di
negara-negara Amerika Latin dan Amerika serikat.
Untuk
menjembatani dua kelompok yang berbeda sistem pengaturan tentang hak cipta ini,
PBB melalai UNESCO menciptakan suatu kompromi yang merupakan: “A new common
dinamisator convention that was intended to establist a minimum level of
international copyright relations throughout the world, without weakening or
supplanting the Bern Convention”. Pada 6 September 1952 untuk memenuhi
kepatuhan adanya suatu Common Dinaminator Convention lahirlah Universal
Copyright Convention (UCC) yang ditandalangani di Jenewa kemudian
ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang diperlukan untuk berlakunya pada 16
September 1955. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan menurut Pasal 1 konvensi
antara lain:
1. Adequate and
Effective Protection. Menurut Pasal I konvensi setiap negara peserta perjanjian
berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap
hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta.
2. National
Treatment. Pasal II menetapkan bahwa ciptaan-ciptaan yang diterbitkan oleh
warga negara dari salah satu negara peserta perjanjian dan ciptaan-ciptaan yang
diterbitkan pertama kali di salah satu negara peserta perjanjian, akan
meemperoleh perlakuan perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diberikan
kepada warga negaranya sendiri yang menerbitkan untuk pertama kali di negara
tempat dia menjadi warga negara.
3. Formalities.
Pasal III yang merupakan manifestasi kompromistis dari UUC terhadap dua aliran
falsafah yang ada, menetapkan bahwa suatu negara peserta perjanjian yang
menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya syarat-syarat tertentu sebagai
formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti wajib simpan (deposit),
pendaftaran (registration), akta notaries (notarial certificates) atau bukti
pembayaran royalti dari penerbit (payment of fee), akan dianggap rnerupakan
bukti timbulnya hak cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan
tanda c dan di belakangnya tercantum nama pemegang hak cipta kemudian disertai
tahun penerbitan pertama kali.
4. Duration of Protection.
Pasal IV, suatu jangka waktu minimum sebagi ketentuan untuk perlindungan hukum
selama hidup pencipta ditambah paling sedikit 25 tahun setelah kematian
pencipta.
5. Translations
Rights. Pasal V, hak cipta mencakup juga hak eksklusif pencipta untuk membuat,
penerbitkan, dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan dari
ciptaannya. Namun setelah tujuh tahun terlewatkan, tanpa adana penerjemahan
yang, dilakukan oleh pencipta, negara peserta konvensi dapat memberikan hak
penerjemahan kepada warga negaranya dengan memenuhi syarat-syarat seperti
ditetapkan konvensi.
6. Juridiction of
the international Court of Justice. Pasal XV, suatu sengketa yang timbul antara
dua atau lebih negara anggota konvensi mengenai penafsiran atau pelaksanaan
konvensi, yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. dapat
diajukan ke muka Mahkamah lnternasional untuk dimintakan penyelesaian sengketa
yang diajukan kecuali jika pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk
memakai cara lain.
7. Bern safeguard
Clause. Pasal XVII UCC beserta appendix merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari pasal ini, merupakan salah satu sarana penting untuk pemenuhau
kebutuhan ini.
Berner Convention.
Konvensi berner merupakan sebuah perlindungan terhadap
kesusastraan dan pekerjaan artistic (karya seni). Biasa diketahui dengan
konvensi bern. Konvensi tersebut merupakan persetujuan internasional yang
menyepakati mengenai hak cipta, dimana pertama diterima di Berne, Switzerland
pada tahun 1886
Konvensi Bern membutuhkan penandatanganan untuk mengetahui
permasalahan hak cipta dari suatu pekerjaan milik pencipta dari Negara lain
yang biasa diketahui sebagai “Berne Union” dimana memiliki tujuan yang sama
seperti hak cipta nasional. Sebagai contoh, hokum hak cipta Perancis menyeluruh
kepada semua yang telah di-publish atau ditampilkan di Perancis, tanpa
terkecuali dimana hal tersebut merupakan hasil pembuatan original.
Disamping untuk membangun system yang treatmentnya seimbang,
hak cipta internasional antara sesame penandatangan, persetejuan tetap
membutuhkan kesatuan kelompok untuk membuat standar minimum yang kuat dalam hak
cipta internasional.
Hak cipta dibawah Konvensi Bern pastio tomatis, dalam arti
lain terlarang untuk membutuhkan registrasi formal (dengan catatan apapun dan
kapanpun United States bergabung dengan konvensi di tahun 1988, mereka
meneruskan untuk membuat perlarangan undang-undang yang fatal dan biaya
pengacarahanya memungkinkan pada pekerja yang sudah diregistrasi).
Konvensi Bern mewajibkan negara-negara yang
menandatanganinya melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari
negara-negara lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang
dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri.
Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala sesuatu
yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana benda atau
barang itu pertama kali diciptakan.
Namun demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang
perlakuan yang sama tidak akan banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta
di negara-negara anggotanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, kaernahal
itu dapat membuat seluruh perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya persetujuan ini
apabila buku dari seorang pengarang di sebuah negara yang memiliki perlindungan
yang baik diterbitkan di sebuah negara yang perlindungannya buruk atau malah
sama sekali tidak ada? Karena itu, Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan
tentang bagaimana hak cipta harus diatur di antara negara-negara anggotanya
melainkan, yang lebih penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolok
ukur minimum yang harus dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari
masing-masing negara.
Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak
membutuhkan pendaftaran secara eksplisit.
Konvensi Bern menyatakan bahwa semua karya, kecuali berupa
fotografi dan sinematografi, akan dilindungi sekurang-kurangnya selama 50 tahun
setelah sipembuatnya meninggal dunia, namun masing-masing Negara anggotanya
bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangk awaktu yang lebih lama, seperti
yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Petunjuk untuk mengharmonisasikan
syarat-syarat perlindungan hak cipta tahun 1993. Untuk fotografi, Konvensi Bern
menetapkan batas minimum perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu
dibuat, dan untuk sinematografi batas minimumnya adalah 50 tahun setelah
pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun setelah pembuatannya apabila film itu
tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun sejak pembuatannya.
Negara-negara yang terkena revisi perjanjian yang lebih tua
dapat memilih untuk memilih untuk memberikan, dan untuk jenis-jenis karya
tertentu (seperti misalnya piringan rekaman suara dan gambar hidup) dapat
diberikan batas waktu yang lebih singkat.
Meskipun Konvensi Bern menyatakan bahwa undang-undang hak
cipta dari negara yang melindungi suatu karya tertentu akan diberlakukan, ayat
7.8 menyatakan bahwa "kecuali undang-undang dari Negara itu menyatakan hal
yang berbeda, maka masa perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang
ditetapkan di Negara asal dari karya itu", artinya sipengarang biasanya
tidak berhak mendapatkan perlindungan yang lebih lama di luar negeri daripada
di negeri asalnya, meskipun misalnya undang-undang di luar negeri memberikan perlindungan
yang lebih lama.
Catatan:
• Konvensi Bern,
sebagai suatu konvensi di bidang hak cipta yang paling tua di dunia (1 Januari
1886), Keseluruhannya tercatat 117 negara meratifikasi
• Belanda, 1 November 1912 juga memberlakukan keikut
sertaannya pada Konvensi bern selanjutnya menerapkan pelaksanaan Konvensi Bern
di Indonesia
• Beberapa Negara bekas jajahan atau di bawah administrasi
pemerintahan Inggris yang menandatangani Konvensi Bern 5 Desember 1887 yaitu
Australia, Kanada, India, New Zealand dan Afrika Selatan
• Konvensi Bern à Law Making Treaty, dengan memberlakukan
secara terbuka bagi semua negara yang belum menjadi anggota
• Keikutsertaan suatu Negara sebagai anggota Konvensi Bern
memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban Negara peserta untuk
menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip national treatment
b. Prinsip automatic protection
c. Prinsip
independence of protection
Universal Copyright Convention (UCC).
Universal Copyright Convention adalah suatu Konvensi hak
cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne dan Amerika
Serikat yang diseponsori oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan satu
system hokum hak cipta secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani
di Jenewa pada bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris
padatahun 1971.Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih
fleksibel daripada yang ditentukan oleh Berne Convention.
Menurut article 2, UCC menganut prinsip national
treatment.Berne Convention menganut prinsip perlindungan secara otomatis,
sebaliknya UCC mempersyaratkan ketentuan formal untuk adanya perlindungan hukum
di bidang hak cipta. Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah
adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin
dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran ©, disertai nama
penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut
menunjukkan bahwa karya tersebut telah dilindungi dengan hak cipta Negara
asalnya, dan telah terdaftar dibawah perlindungan hak cipta.
Beberapa konvensi lainnya di bidang hak yang berkaitan
dengan hakcipta (neighbouring right)
adalah :
a. Konvensi Roma 1961 (International Convention for the
Protection of the Performers producers of Phonograms and Broadcasting
Organization). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang
berkecimpung dalam kegiatan pertunjukan, perekaman,dan badan penyiaran.
b. Geneva Convention for the Protection of Producers of
Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms, tahun 1971.
c. Brussels
Convention Related to the Distribution of Programme carrying Signals
Transmitted by Satellite ,tahun 1974
Referensi :